Tuesday, November 11, 2008

Menilai Pengeboman Bali...

Saya kaget dan heran ketika membaca penjelasan Imam Samudra tentang dua ayat Al-Qur’an yang dipotong-potong untuk membenarkan aksi pembomannya, (AMT, hal:116) yaitu:
Artinya: “barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194).

Dan, ayat 126 Surah An-Nahl:
Artinya: “dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan jang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126).



Dengan tegas dan bangga, Imam Samudra mengatakan bahwa membalas balik dengan membunuh wanita, anak-anak, dan warga sipil adalah tindakan yang 'wajar', 'adil' dan 'seimbang'. Karena itu, menurut Imam Samudra, Amerika dan sekutunya telah melampaui batas-batas perang dengan membunuh banyak warga sipil Muslim, maka dia berniat membalas dengan cara membunuh warga sipil Amerika dan sekutunya. Begitulah katanya “sipil dibalas sipil! Itulah keseimbangan.” Dengan yakinnya ia mengatakan “Dan dengan demikian, jihad Bom Bali tidak dilakukan secara asal-asalan dan serampangan.” (AMT, hal: 116).

Astaghfirullah! Padahal wisatawan asing yang berada di Legian Bali pada waktu itu terdapat banyak juga orang-orang non-Muslim yang bukan warga Amerika atau Australia, kalau memang benar Amerika dan Australia adalah musuh Imam Samudra! Kalaupun wisatawan asing yang berada di Bali itu adalah warga Amerika ataupun warga Australia dan sekutunya maka belum tentu mereka dari pihak yang setuju dengan tindakan pemerintah mereka yang menyerang Afghanistan dan Iraq. Bukankah kebohongan alasan pemerintah Amerika menyerang Iraq dibongkar sendiri oleh warga Amerika? Bagaimana kalau yang tewas dalam aksi bom Bali itu adalah dari warga Amerika yang tidak setuju dan anti dengan kebijakan pemerintah Amerika dalam penyerangan Afghanistan dan Iraq? Sungguh Imam Samudra sendiri telah mengeneralisir warga Amerika dengan prasangkanya, “ini berarti pula mereka terlibat dalam proses pembiayaan perang.” (AMT, hal: 147). Sebuah prasangka dan tuduhan yang tidak berdasar.

Bagaimana Imam Samudra boleh memahami potongan ayat Qishosh tersebut (Al-Baqarah: 194) yang ditafsirkannya sendiri menurut arti harfiyah lalu dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini di luar Indonesia yang kemudian dibalas di Indonesia?

Jika diperhatikan kedua ayat tersebut dalam bahasa Arab, akan didapati perkataan bi mitsli ma yang artinya secara harfiyah “dengan seumpama apa (benda) yang.” Bermakna ada sesuatu yang digunakan serupa dengan yang terdahulu, baik itu berbentuk perkataan maupun material. Dan menurut para mufasirrin (Ulama penafsir Al-Qur’an) bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang hukum Qishosh yaitu hukum membalas kejahatan. Di dalam syariat Islam diatur tentang cara-cara pelaksanaan hukum Qishosh.

Dalam tafsir Qurtubiy, penjelasan terhadap ayat ini adalah bahwa Rasulullah memerintahkan dalam pelaksanaan hukum Qishosh harus menggunakan alat yang sama terhadap pelaku seperti yang digunakan oleh pelaku kepada korban. Tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas dengan membalas kepada selain pelaku, seperti terhadap kedua orangtuanya, anaknya dan kerabatnya. Begitu juga tidak boleh berbohong kepada pelaku seandainya pelaku berbohong kepadanya. Sebab, kemaksiatan tidak boleh dibalas dengan kemaksiatan. Sekarang, hukum pelaksanaan Qishosh tidak boleh dilakukan secara pribadi tetapi harus atas izin pemerintah (artinya Mahkamah Islam).

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berlaku adil dalam melaksanakan hukum Qishosh walaupun terhadap kaum yang bukan Islam (non-Muslim). Untuk membalas kejahatan orang lain, maka sikap sabar si korban adalah lebih baik bagi orang-orang yang mau bersabar.

Terdapat empat hal dan satu catatan penting yang perlu diperhatikan dari ayat tersebut (Al-Baqarah: 194 dan An-Nahl: 126), yaitu:
Pertama : Alat dari jenis yang sama.
Kedua : Teknis pembalasan dengan cara yang sama.
Ketiga : Pembalasan dilakukan hanya terhadap si pelaku.
Keempat : Pelaksanaannya dilakukan oleh si korban atau wali si korban.

Catatan: Tidak boleh melakukan pembalasan terhadap kedua orangtua pelaku, anaknya dan kerabatnya. Apalagi terhadap bangsanya yang tidak ada hubungan darah. Sebab tindakan demikian adalah melampaui batas hukum Allah. Keadilan ditegakkan biarpun kepada non-Muslim.

Jika Imam Samudra salah satu pengagum Ustadz Abdullah Azzam (alm), maka saya ingin menceritakan sebuah tafsir dari salah satu ceramah Ustadz Abdullah Azzam yang pernah saya dengar langsung pada majlis ta’lim beliau di Afghanistan. Ketika itu ia menjelaskan penggunaan senjata api menurut syariat Islam. Senjata api yang digunakan oleh pasukan bersenjata mujahidin Afghanistan dan pasukan bersenjata di seluruh dunia mempunyai efek api dan panas. Padahal di dalam Islam terdapat larangan membunuh dengan api. Sabda Rasulullah SAW: “Tidak boleh menyiksa (membunuh) dengan (menggunakan) api kecuali pemilik api (yaitu Allah SWT).” (Hadis Riwayat Abu Daud).

Kemudian Ust-Abdullah Azzam menyebutkan sebuah ayat Al-Qur’an :

Artinya: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishosh. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194)

dan ayat yang lain:

Artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl:126).

Selanjutnya Ust. Abdullah Azzam (alm) menjelaskan bahwa dengan ayat ini maka dibolehkan menggunakan senjata api yang sama seperti yang digunakan musuh ketika memerangi mujahidin. Jika musuh menggunakan api untuk membunuh maka dibolehkan menggunakan api untuk membunuh musuh (pasukan bersenjata musuh). Begitu juga seandainya musuh menggunakan senjata api (dari berbagai jenis) maka dibolehkan juga menggunakan peralatan yang sama. Sebab bagaimana mungkin pedang dan tombak menghadapi senjata api dalam perang zaman modern ini? Maka keterangan Ust. Abdulah Azzam bersesuaian dengan maksud ayat Al-Qur’an tersebut. Demikian lah yang saya dengar langsung dari beliau.

Selanjutnya mengenai penyerangan keatas orang-orang sipil atau membunuh mereka, menurut yang saya fahami adalah kebijakan pimpinan perang. Rasulullah SAW adalah pemimpin negara dan panglima tertinggi pasukan Muslimin, maka beliau mempertimbangkan matang-matang dalam memberikan perintah yang membawa kemaslahatan peperangan bagi mengalahkan musuh. Perintah larangan membunuh sipil seperti wanita, anak-anak, orang tua bangka, larangan memotong pohon, membunuh binatang ternak dan lain-lain, tetap berlaku di manapun pertempuran berlangsung. Hanya panglima tertinggi dan pemimpin negara yang boleh membuat keputusan atau kebijakan setelah proses kajian dan pertimbangan yang matang untuk mencapai kemaslahatan perang walau kadang terlihat melanggar aturan larangan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW di masa pertempuran, tanpa niyat kesengajaan. Kebijakan yang dibuat oleh Rasulullah pada masa itu adalah dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin tertinggi negara dan panglima perang, dan pelaksanaannya juga dilaksanakan secara selektif.

Contoh kisah penebangan pohon
Perintah Rasulullah SAW untuk menebang pohon kurma milik Bani Nadhir bukanlah dikarenakan Bani Nadhir pernah merusak atau menghancurkan pohon kurma milik kaum Muslimin sehingga Rasulullah SAW melakukan tindak pembalasan terhadap sikap Bani Nadhir yang dianggap telah melampaui batas menebang pohon.

Tetapi perintah Rasulullah SAW itu adalah siasat perang untuk melumpuhkan pasukan lawan, yang tiada cara lain kecuali dengan cara itu dapat melemahkan mental pasukan lawan yaitu Bani Nadhir. Dan tindakan Rasulullah SAW itu dibenarkan oleh Allah SWT.

Asal kisah peristiwa itu adalah bermula ketika Ghozwah Bani Nadhir (kaum Yahudi) yang melarikan diri dari pengejaran pasukan Muslimin pimpinan Rasulullah SAW. Mereka melakukan persekongkolan jahat (makar) untuk membunuh Nabi Muhammad SAW dan siap melakukan perlawanan. Bani Nadhir menjadikan perkampungan mereka sebagai kubu pertahanan yang lengkap dengan benteng yang kuat. Mereka menyediakan logistik yang cukup untuk sekitar setahun, termasuk air bersih jika dikepung hingga datang bantuan pihak yang memusuhi kaum Muslimin datang membantu mereka.

Mengingat kuatnya pertahanan Bani Nadhir dalam menghadapi pasukan Muslimin maka Rasulullah SAW menggunakan sebuah taktik baru untuk menjatuhkan mental mereka yang sangat sayang kepada harta benda dan ingin hidup. Sebagai pimpinan tertinggi, juga dengan alasan kebijakan dan siasat perang, Rasulullah SAW memerintahkan pasukan Muslimin untuk memotong pohon kurma milik Bani Nadhir dan membakarnya sehingga timbul rasa kekecewaan pihak Bani Nadhir untuk mempertahankan perkebunan yang dianggap sebagai harta kekayaan mereka. Khusus tentang siasat dan tindakan Rasulullah SAW selaku pemimpin tertinggi pasukan ini dibenarkan oleh Allah SWT. Hal itu dijelaskan di dalam Surah Al-Hasyr, mengisahkan tentang sikap Bani Nadhir (kaum Yahudi) yang melanggar perjanjian damai.

Artinya: “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” (Al-Hasyr: 5).

Dengan penebangan dan pembakaran pohon kurma serta lamanya menunggu bantuan pasukan yang memusuhi kaum Muslimin, maka Bani Nadhir menyerahkan diri dan meminta perlindungan jaminan keselamatan jiwa, serta bersedia untuk keluar dari Madinah. Permintaan mereka kemudian diperkenankan oleh Rasulullah SAW.

Motif asal terjadi pertempuran dengan Bani Nadhir disebabkan karena mereka-lah yang sebenarnya telah bertindak melampaui batas dengan melanggar perjanjian damai dan mengancam keamanan kaum Muslimin. Dengan demikian Rasulullah SAW melakukan penyerangan terhadap mereka karena mereka telah berkhianat terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama. Wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW:
Artinya: “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (At-Taubah: 10).
Contoh kisah penyerangan terhadap sipil
Bani Hawazun dan Bani Tsaqif tidak pernah menyerang atau membunuh warga sipil kaum Muslimin. Jadi sebenarnya tiada hak bagi Rasulullah SAW membalas tindakan Bani Hawazun dan Bani Tsaqif dengan menyerang warga sipil mereka atas alasan mereka telah melampaui batas. Tetapi sebenarnya Rasulullah lah yang telah memulai penyerangan keatas sipil mereka namun penyerangan tersebut bukan atas perencanaan dan kesengajaan. Secara ringkas saya kisahkan sedikit peristiwa tersebut yang terjadi pada Ghozwah Hunain.

Dalam Ghozwah Hunain, Bani Hawazun sengaja membawa serta anak-anak dan isteri-isteri mereka ke medan pertempuran untuk meningkatkan moral mereka ketika berperang. Maka tidak mustahil dan tidak dapat dielakkan ketika panah-panah yang diluncurkan oleh pasukan Muslimin akan mengenai warga sipil yang bersama-sama di dalam pasukan bersenjata musuh.

Setelah berkecamuknya peperangan Hunain, pasukan Muslimin memperoleh kemenangan, maka pasukan musuh yaitu Bani Hawazun dan kabilah-kabilah lain yang kalah melarikan diri ke lembah Authas dan lembah Nakhlah. Sementara Bani Tsaqif ketika melarikan diri mengarah ke Thaif, yaitu sebuah kota yang sangat kuat benteng pertahanannya.

Ketika Bani Hawazun dan kabilah yang lain dapat dikalahkan di lembah Nakhlah dan Authas, kota Thaif tempat kubu pertahanan Bani Tsaqif masih tetap belum dapat dikuasai oleh pasukan Muslimin disebabkan kuatnya perlawanan dari dalam benteng Thaif.

Dengan menggunakan Dabbabah (seperti kenderaan pelindung pasukan yang terbuat dari balok-balok kayu), pasukan Muslimin berlindung di bawahnya untuk mendekati benteng pertahanan kota Thaif, tetapi Bani Tsaqif menggunakan lelehan besi panas yang dituangkan dari atas benteng untuk membakar Dabbabah tersebut.

Dan, dengan menggunakan Manjanik (seperti ketapel berskala besar) yang berfungsi untuk melempar batu besar. Pasukan Muslimin mengarahkan incaran ke dalam benteng pertahanan pasukan musuh, dan memang tidak dapat dielakkan seandainya batu besar itu akan menimpa penduduk sipil yang berada di dalam kota Thaif.

Sekali lagi penyerangan keatas warga sipil bukan atas rencana dan kesengajaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tetapi kejadian itu terjadi karena Bani Tsaqif telah menjadikan kota Thaif yang penuh dengan warga sipil sebagai tempat pertempuran. Warga sipil bukanlah sasaran pasukan Muslimin, namun ada kemungkinan mereka (sipil seperti anak-anak dan wanita Bani Tsaqif) akan menjadi korban perang karena keberadaan mereka di dalam benteng pertahanan musuh yang diserang. Walaupun begitu, teknis Manjanik tidak terus-menerus digunakan, karena Rasulullah menggunakan taktik perang atau siasat perang dengan memberikan penawaran dan jaminan kepada setiap hamba sahaya (budak) yang mau lari dari Bani Tsaqif akan dimerdekakan. Pengepungan berlangsung selama sebulan saja setelah sedikit demi sedikit orang-orang dari Bani Tsaqif menyerah diri dan menerima Islam.

Motif asal terjadinya pertempuran Ghozwah Hunain adalah dikarenakan kabilah Bani Hawazun, Bani Tsaqif dan kabilah yang lain telah berkumpul ingin melakukan penyerangan keatas kaum Muslimin. Akibat ancaman serangan itu Rasulullah SAAW memimpin pasukan untuk menghadapi kabilah-kabilah tersebut.

Sepengetahuan saya, Rasulullah SAW tidak menggunakan senjata yang bernama Mortar untuk menghadapi Bani Hawazun sebagaimana yang ditulis oleh Imam Samudra dalam bukunya (AMT, hal:119). Sebab, senjata Mortar belum ada pada waktu itu, semoga ini bukanlah satu lagi kebohongan terhadap pembaca yang disengaja.

Contoh kisah membunuh wanita
Pernah Rasulullah SAW memerintahkan pasukannya untuk membunuh wanita, tetapi wanita yang tertentu saja. Pada perang Ghozwah Bani Quraizah, setelah pengepungan dan Bani Quraizah ingin menyerah diri pada pihak pasukan Muslimin terjadi perundingan damai atas permintaan Bani Quraizah dan meminta Saad Bin Mua’dz r.a yang membuat keputusan. Salah satu di antara keputusan Saad Bin Mua’dz adalah menjatuhkan hukuman mati keatas seorang wanita yang telah membunuh seorang Muslim. Silahkan rujuk bab Ghozwah.

Ketika Ghozwah Fathu Makkah di mana terdapat empat orang wanita (Hindun binti ‘Utbah, Sarah mantan budak Amer bin Hisyam, Fartanai dan Qarinah) yang diperintahkan Rasulullah untuk dibunuh. Ini adalah karena wanita-wanita itu telah mengobarkan semangat permusuhan terhadap Rasulullah dan Muslimin, serta mencaci maki Islam. Tetapi ternyata pelaksanaannya hanya satu wanita saja yang terbunuh ketika pertempuran, selain itu (tiga wanita yang lain) mendapatkan pengampunan dari Rasulullah SAW, Hindun termasuk yang mendapatkan pengampunan. Seandainya Rasulullah adalah seorang yang suka membunuh dan berniat membalas dendam, sudah pasti Hindun binti ‘Utbah tidak diberikan pengampunan karena mengingat perbuatannya membelah-belah mayat paman Rasulullah, Saiyidina Hamzah, yang kemudian memakan hatinya.

Tiada rasa kebencian pada diri Rasulullah terhadap orang-orang yang memusuhinya. Selama orang tersebut tidak menampakkan permusuhan yang dilanjutkan dengan langkah-langkah yang nyata, maka selama itu Rasulullah akan membiarkannya bebas dan aman walaupun orang itu bukan beragama Islam. Dan, sekiranya Rasulullah memberikan perintah membunuh musuh Islam, maka dia akan menyebutkan namanya dan keterlibatannya dengan jelas, tidak secara membabi-buta sehingga siapa saja boleh dibunuh serta dianggap sama. Sebagai pemimpin negara dan panglima perang, Rasulullah berkuwajiban menjaga keamanan rakyatnya dengan penuh bijaksana.

Imam Samudra mengatakan bahwa larangan-larangan yang dikatakan oleh Rasulullah SAW di medan pertempuran itu hanya berlaku terhadap pasukan musuh atau terhadap musuh yang tidak bertindak melampaui batas, sebagaimana katanya “Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang larangan melampaui batas yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 190 dan hal itu berlaku ketika musuh Islam tidak bertindak melampaui batas terhadap kaum Muslimin.” (AMT, hal: 119). Padahal hadis-hadis tersebut bersifat umum yang berlaku untuk semua kondisi, yaitu larangan bagi kaum Muslimin dari bersikap melampaui batas dalam berperang.

Jika benar apa yang dikatakan oleh Imam Samudra bahwa Rasulullah SAW hanya melakukan tindakan melampaui batas karena membalas musuh yang melampaui batas, maka bagaimana pula halnya dengan pohon-pohon kurma Bani Nadhir, mereka tidak pernah merusak tanaman kaum Muslimin, demikian juga warga sipil Bani Hawazun dan warga sipil Bani Tsaqif, mereka tidak pernah membunuh warga sipil kaum Muslimin?

Dan malah Imam Samudra mensifatkan Rasulullah SAW dengan sewenang-wenangnya membunuh wanita dan anak-anak Bani Hawazun, sebagaimana penjelasannya “Rasulullah melakukan penyerangan terhadap kaum Bani Hawazun dengan menembakkan mortar dan tidak membedakan target laki-laki, wanita ataupun anak-anak.” (AMT, hal: 119)

Di halaman yang sama (AMT, hal: 119) Imam Samudra mengatakan bahwa alasan Rasulullah SAW melakukan itu karena berdasarkan ayat Al-Quran;

(Terjamahan di AMT) Artinya: “barang siapa yang melampaui batas terhadap kamu, maka balaslah serangan mereka, sebanding dengan yang mereka lakukan terhadap kamu.” (Al-Baqarah: 194).

Saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa bukan berdasarkan ayat ini terjadinya pertempuran dengan Bani Hawazun. Menurut buku sirah yang saya baca dan pelajari ternyata Imam Samudra menyalahi kata-katanya sendiri yaitu bagaimana mungkin Rasulullah membalas tindakan melampaui batas Bani Hawazun padahal Bani Hawazun tidak melakukan tindakan melampaui batas keatas kaum Muslimin.

Saya tidak ragu-ragu mengatakan bahwa Imam Samudra sangat 'serampangan' (pinjam istilah Imam Samudra di AMT, hal. 116) menggunakan ayat tersebut (Al-Baqarah: 194) sebagai dalil untuk membunuh warga sipil di Bali dengan alasan jihad. Penyimpangan tafsir Al-Qur’an yang berakibat fatal menyesatkan orang banyak. Arti ayat Al-Qur’an telah tercemar oleh tindakan Imam Samudra yang mengatasnamakan dalil tersebut. Padahal apa yang dimaksudkan oleh ayat Al-Qur’an tersebut adalah Hukum Qishosh.

Ternyata Imam Samudra telah menyalahartikan ayat Al-Qur’an menurut hawa nafsunya sendiri. Alasan membunuh warga sipil non-Muslim dengan dalil ayat Al-Qur’an tersebut (Al-Baqarah: 194) telah mencemarkan kesucian ayat tersebut dan keadilan hukum Allah SWT, Astaghfirullah..... Dan, Imam Samudra juga telah berburuk sangka dan mencemarkan nama baik Ibnu Katsir dengan mengatasnamakan tafsirnya untuk membenarkan pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang-orang sipil di Bali. Padahal, dalam keterangan Tafsir Ibnu Katsir tidak menyebutkan penjelasan dibolehkan membalas dengan melaksanakan hukum Qishosh terhadap selain pelaku. Ibnu Katsir tidak menyebutkan bahwa kejahatan yang sama diperlakukan terhadap jenis sasaran yang sama (sipil dengan sipil).

Tetapi yang benar adalah perbuatan yang sepadan dilakukan terhadap pelaku kejahatan tersebut sebagai hukuman kepada pelaku. Itupun yang melaksanakan hukum itu adalah korban atau walinya, dan jika korban memaafkan pelaku, maka hukum Qishosh otomatis gugur dilaksanakan. Hukuman atas kejahatan hanya diperlakukan terhadap pelaku kejahatan, jika hukuman tersebut dijatuhkan kepada selain pelaku maka itu berarti telah melampaui batas hukum Allah SWT yang adil.

Tetapi Imam Samudra dengan tegasnya menyatakan, bahwa korban tewas dari kalangan sipil di Bali adalah 'reaksi seimbang', sebagai balasan (Qishosh) untuk korban sipil Muslim di seluruh dunia, sesuai dengan ayat Al-Qur’an. (AMT, hal. 143). Astaghfirullah! Mahasuci Allah dari apa yang mereka (Imam Samudra) sifatkan!!!

Tafsir Qurtubiy menjelaskan tentang hukum Qishosh bahwa kemaksiatan tidak dibalas dengan kemaksiatan, seperti kebohongan tidak dibalas dengan kebohongan. Dengan begitu juga sama artinya jika kezaliman adalah praktek kemaksiatan, maka berarti tidak boleh kezaliman dibalas dengan kezaliman. Dan seandainya pembunuhan orang-orang sipil Muslim juga adalah sebuah praktek kemaksiatan, maka tidak boleh juga pembunuhan sipil dibalas dengan pembunuhan sipil. Biarlah orang lain (musuh) yang berbuat kemaksiatan, namun kita sebagai umat Islam tetap dengan batas serta aturan yang telah Allah SWT syariatkan.

Seumpama keluarga kita dibunuh dengan tanpa hak, maka kita tidak boleh membalas terhadap keluarga pelaku, tetapi kita menuntut hukum pembalasan (Qishosh) dilaksanakan hanya terhadap pelaku saja. Karena, jika kita membalas membunuh keluarga pelaku maka itu berarti kita telah membunuh tanpa hak (menghakimi sendiri) dan masuk ke dalam kategori melampaui batas ketentuan (hukum) Allah SWT. Yang salah adalah si pelaku, bukan keluarganya. Dosa pelaku tidak turun kepada keluarganya atau bangsanya. Inilah keadilan yang dituntunkan dalam Islam. Jika kita telah berlaku adil terhadap sesama umat manusia, maka berarti kita telah melaksanakan dakwah Islam dan bertakwa.

Peringatan Allah SWT termaktub di Al-Quran:

Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (An-Najm: 38).

Artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maaidah: 8).

Sungguh Imam Samudra adalah orang yang telah melampaui batas dengan melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang tidak melakukan kezaliman. Aksi pembomannya itu telah melampaui batas hukum Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya, makhluk ciptaaan-Nya di muka bumi ini. Pemboman di Bali telah mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak mengerti akan apa yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Iraq dan tempat-tempat lain. Patutkah mereka (orang-orang sipil) yang bukan pelaku menerima hukuman Qishosh atas kesalahan orang lain ????

Inilah peringatan dari Allah SWT terhadap orang yang bertindak melampaui batas ketentuan hukum Allah SWT :
Artinya: “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 229).

Artinya: “dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (At-Thalaq: 1).



(disedut drpd buku Membongkar JI)

"

http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=News&file=article&sid=18318&mode=thread&order=0&thold=0

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...