Oleh SHAHAROM TM SULAIMAN
shaharomtm@yahoo.com
Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada mereka sebagai sosok yang dinamik, sopan dan terjaga akhlaknya.
shaharomtm@yahoo.com
Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada mereka sebagai sosok yang dinamik, sopan dan terjaga akhlaknya.
--------------------------------------------------------------------------------
DALAM kitab-kitab lama dan buku-buku mengenai perempuan, kita dengan mudah akan menemui pandangan-pandangan stereotaip mengenai perempuan seperti, "Pekerjaan seorang wanita yang asasi dan sesuai dengan nalurinya adalah berada di rumah, iaitu mendidik anak-anak dan melayani suami.
Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan hina, tetapi merupakan pekerjaan yang teramat mulia, tanggungjawab yang berat dan pekerjaan yang luhur.
Suatu hal yang sangat membahaya yang dilakukan dalam budaya moden ini adalah berpalingnya seorang perempuan dari rumahnya dan anak-anak.
Ia sibuk bersama kaum lelaki di lapangan pekerjaan. Kutipan ini berasal dari sebuah buku bertajuk Problematika Muslimah di Era Globalisasi, yang ditulis oleh Dr. Ahmad Muhammad Jamal.
Kutipan ini memberi gambaran tipikal citra hubungan lelaki-perempuan dalam masyarakat tradisional Islam, di mana perempuan selalu ditekankan sebagai penenang hati suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak-anak dan menjaga harta benda suami serta membina etika keluarga.
Apakah ini memang citra perempuan Muslim-seperti yang dihuraikan dalam hampir semua kitab-kitab feqah, misalnya dalam bab nikah iaitu mendidik anak-nak dan melayani si suami? Nampaknya feqah memang menuliskan berbagai masalahnya berkaitan dengan perempuan ini dengan pandangan-pandangan stereotaip seperti itu.
Barangkali inilah yang menjadi agenda buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Moden, yang disunting oleh M. Hajar Dewantoro dan Asmawi yang menginginkan adanya perubahan pada teks feqah konvensional yang dianggap 'membelenggu' kaum wanita dalam mengembangkan peranannya dalam masyarakat moden.
Buku ini menegaskan bahawa apabila sosok perempuan yang tampil dalam kitab-kitab feqah dihadapkan pada realiti masa kini, maka yang terjadi adalah proses pembentukan stereotaip yang berangkat dari gagasan abstrak, umum dan statik.
Aplikasi feqah dalam rentang waktu yang panjang dan melampaui sosio-budaya di mana feqah diformulasikan, tanpa diikuti oleh analisis sosiologi yang mendalam akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan.
Ini menunjukkan upaya untuk mempertahankan feqah klasik tanpa menimbangkan perubahan zaman, tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan masyarakat telah menafikan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana lelaki.
Kecerdasan untuk mempertahankan feqah klasik dengan menekankan kedudukan stereotaipnya telah membawa kejumudan pemikiran Islam terhadap masalah kaum perempuan, yang dari masa ke semasa selalu dibentuk hanya untuk kepentingan di luar dirinya.
Sudah waktunya diadakan rekonstruksi atau pembongkaran terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang pada perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamik dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada perempuan pada masa Rasulullah saw, yang sering dilupakan dalam feqah, sebagai sosok yang dinamik, sopan dan terjaga akhlaknya.
Masalah mendasar yang berkaitan erat dengan masalah perempuan adalah berkembangnya budaya 'patriarki' (mementingkan lelaki) dalam masyarakat kontemporari, yang dalam kadar tertentu, selaras dengan latar budaya kebanyakan dari kitab-kitab feqah klasik. Sementara itu, modernisasi telah memberi peluang pendidikan yang sama antara lelaki dan perempuan yang kemudiannya menumbuh kesedaran baru tentang hak dan kewajipan mereka sebagai seorang manusia.
Di saat mereka mencuba untuk membongkar halangan-halangan budaya terhadap perempuan, di saat itu pula bias-bias budaya dalam kitab-kitab feqah akan kelihatan.
PERLU ada perubahan pada teks feqah konvensional yang dianggap ‘membelenggu’ wanita dalam mengembangkan peranannya dalam masyarakat moden. – Gambar hiasan
--------------------------------------------------------------------------------
Tidak hairanlah bila terdapat di kalangan pemikir Islam mahupun tokoh-tokoh feminis Muslim terdesak untuk mengadakan kajian kritis terhadap kemungkinan merumuskan feqah alternatif yang mampu menjawab permasalahan kontemporari yang dihadapi kaum perempuan.
Dalam satu kajian yang menarik dan telah dibukukan bertajuk, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, pengarangnya, Dr. Nasaruddin Umar cuba mengupasnya dari sudut analisa gender.
Dengan melihat berbagai budaya, alam, aspek psikologi dan juga teks al-Quran, Nasaruddin memberi peringatan pada kita untuk berhati-hati dalam memahami pertalian seksual dan pertalian gender.
Pertalian seksual adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis. Sedangkan pertalian gender adalah sebuah konsep dan realiti sosial yang berbeza di mana pembahagian kerja seksual tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologi melainkan pada kemahiran, keterampilan serta berdasarkan kesepakatan sosial.
Dengan demikian, konsep dan manifestasi dari pertalian gender lebih dinamik serta memiliki kelenturan dengan menimbangkan 'variabel' psiko-sosial yang berkembang. Berdasarkan pemahaman ini, mungkin saja seorang yang secara biologi dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut gender, mungkin berperanan sebagai lelaki.
Sebagai contoh, seorang suami kerana suatu hal, memilih bekerja di rumah dan mengasuh anak, maka dari segi gender, dia telah mengambil peranan sebagai perempuan meskipun dari segi seksualnya adalah lelaki. Sebaliknya, si isteri dengan segala keterampilannya dan atas kesepakatan bersama lebih memilih bekerja mencari nafkah di luar rumah, maka dia telah berperanan sebagai lelaki. Menurut kajian Nasaruddin, sesungguhnya di dalam al-Quran, terdapat istilah-istilah yang harus dibezakan; yang satu menunjuk kategori seksual-biologi sedangkan istilah yang lain menunjuk pada konsep gender, namun hal ini sering dikaburkan!
Menurut Nasaruddin lagi, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, kita sering mencampuradukkan dua kategori yang jelas berbeza ini, bahkan cenderung mengindentitikan yang satu dengan yang lain.
Dalam soal kepimpinan dan tugas mencari nafkah, misalnya, jika al-Quran diperhadapkan dengan realiti kehidupan moden, maka sangat dimungkinkan munculnya berbagai penafsiran dan implementasinya.
Tidak ada kenyataan al-Quran mengenai soal jawatan Perdana Menteri, Menteri dan sebagainya kerana sewaktu al-Quran diwahyukan, dunia Arab ketika itu belum mengenal birokrasi serumit sekarang ini.
Dengan demikian, persoalan gender merupakan wilayah yang terbuka untuk ditafsirkan dengan menimbangkan konteks sosialnya.
Sekali lagi, perbezaan anatomi biologi lelaki dan perempuan memang cukup jelas. Kenyataan biologi yang membezakan dua jenis kelamin ini telah melahirkan dua teori besar yakni teori nature dan teori nurture.
http://www.kosmo.com.my/kosmo/arkib.asp?y=2008&dt=1216&pub=Kosmo&sec=Akademi&pg=ak_03.htm
DALAM kitab-kitab lama dan buku-buku mengenai perempuan, kita dengan mudah akan menemui pandangan-pandangan stereotaip mengenai perempuan seperti, "Pekerjaan seorang wanita yang asasi dan sesuai dengan nalurinya adalah berada di rumah, iaitu mendidik anak-anak dan melayani suami.
Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan hina, tetapi merupakan pekerjaan yang teramat mulia, tanggungjawab yang berat dan pekerjaan yang luhur.
Suatu hal yang sangat membahaya yang dilakukan dalam budaya moden ini adalah berpalingnya seorang perempuan dari rumahnya dan anak-anak.
Ia sibuk bersama kaum lelaki di lapangan pekerjaan. Kutipan ini berasal dari sebuah buku bertajuk Problematika Muslimah di Era Globalisasi, yang ditulis oleh Dr. Ahmad Muhammad Jamal.
Kutipan ini memberi gambaran tipikal citra hubungan lelaki-perempuan dalam masyarakat tradisional Islam, di mana perempuan selalu ditekankan sebagai penenang hati suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak-anak dan menjaga harta benda suami serta membina etika keluarga.
Apakah ini memang citra perempuan Muslim-seperti yang dihuraikan dalam hampir semua kitab-kitab feqah, misalnya dalam bab nikah iaitu mendidik anak-nak dan melayani si suami? Nampaknya feqah memang menuliskan berbagai masalahnya berkaitan dengan perempuan ini dengan pandangan-pandangan stereotaip seperti itu.
Barangkali inilah yang menjadi agenda buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Moden, yang disunting oleh M. Hajar Dewantoro dan Asmawi yang menginginkan adanya perubahan pada teks feqah konvensional yang dianggap 'membelenggu' kaum wanita dalam mengembangkan peranannya dalam masyarakat moden.
Buku ini menegaskan bahawa apabila sosok perempuan yang tampil dalam kitab-kitab feqah dihadapkan pada realiti masa kini, maka yang terjadi adalah proses pembentukan stereotaip yang berangkat dari gagasan abstrak, umum dan statik.
Aplikasi feqah dalam rentang waktu yang panjang dan melampaui sosio-budaya di mana feqah diformulasikan, tanpa diikuti oleh analisis sosiologi yang mendalam akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan.
Ini menunjukkan upaya untuk mempertahankan feqah klasik tanpa menimbangkan perubahan zaman, tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan masyarakat telah menafikan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana lelaki.
Kecerdasan untuk mempertahankan feqah klasik dengan menekankan kedudukan stereotaipnya telah membawa kejumudan pemikiran Islam terhadap masalah kaum perempuan, yang dari masa ke semasa selalu dibentuk hanya untuk kepentingan di luar dirinya.
Sudah waktunya diadakan rekonstruksi atau pembongkaran terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang pada perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamik dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada perempuan pada masa Rasulullah saw, yang sering dilupakan dalam feqah, sebagai sosok yang dinamik, sopan dan terjaga akhlaknya.
Masalah mendasar yang berkaitan erat dengan masalah perempuan adalah berkembangnya budaya 'patriarki' (mementingkan lelaki) dalam masyarakat kontemporari, yang dalam kadar tertentu, selaras dengan latar budaya kebanyakan dari kitab-kitab feqah klasik. Sementara itu, modernisasi telah memberi peluang pendidikan yang sama antara lelaki dan perempuan yang kemudiannya menumbuh kesedaran baru tentang hak dan kewajipan mereka sebagai seorang manusia.
Di saat mereka mencuba untuk membongkar halangan-halangan budaya terhadap perempuan, di saat itu pula bias-bias budaya dalam kitab-kitab feqah akan kelihatan.
PERLU ada perubahan pada teks feqah konvensional yang dianggap ‘membelenggu’ wanita dalam mengembangkan peranannya dalam masyarakat moden. – Gambar hiasan
--------------------------------------------------------------------------------
Tidak hairanlah bila terdapat di kalangan pemikir Islam mahupun tokoh-tokoh feminis Muslim terdesak untuk mengadakan kajian kritis terhadap kemungkinan merumuskan feqah alternatif yang mampu menjawab permasalahan kontemporari yang dihadapi kaum perempuan.
Dalam satu kajian yang menarik dan telah dibukukan bertajuk, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, pengarangnya, Dr. Nasaruddin Umar cuba mengupasnya dari sudut analisa gender.
Dengan melihat berbagai budaya, alam, aspek psikologi dan juga teks al-Quran, Nasaruddin memberi peringatan pada kita untuk berhati-hati dalam memahami pertalian seksual dan pertalian gender.
Pertalian seksual adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis. Sedangkan pertalian gender adalah sebuah konsep dan realiti sosial yang berbeza di mana pembahagian kerja seksual tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologi melainkan pada kemahiran, keterampilan serta berdasarkan kesepakatan sosial.
Dengan demikian, konsep dan manifestasi dari pertalian gender lebih dinamik serta memiliki kelenturan dengan menimbangkan 'variabel' psiko-sosial yang berkembang. Berdasarkan pemahaman ini, mungkin saja seorang yang secara biologi dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut gender, mungkin berperanan sebagai lelaki.
Sebagai contoh, seorang suami kerana suatu hal, memilih bekerja di rumah dan mengasuh anak, maka dari segi gender, dia telah mengambil peranan sebagai perempuan meskipun dari segi seksualnya adalah lelaki. Sebaliknya, si isteri dengan segala keterampilannya dan atas kesepakatan bersama lebih memilih bekerja mencari nafkah di luar rumah, maka dia telah berperanan sebagai lelaki. Menurut kajian Nasaruddin, sesungguhnya di dalam al-Quran, terdapat istilah-istilah yang harus dibezakan; yang satu menunjuk kategori seksual-biologi sedangkan istilah yang lain menunjuk pada konsep gender, namun hal ini sering dikaburkan!
Menurut Nasaruddin lagi, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, kita sering mencampuradukkan dua kategori yang jelas berbeza ini, bahkan cenderung mengindentitikan yang satu dengan yang lain.
Dalam soal kepimpinan dan tugas mencari nafkah, misalnya, jika al-Quran diperhadapkan dengan realiti kehidupan moden, maka sangat dimungkinkan munculnya berbagai penafsiran dan implementasinya.
Tidak ada kenyataan al-Quran mengenai soal jawatan Perdana Menteri, Menteri dan sebagainya kerana sewaktu al-Quran diwahyukan, dunia Arab ketika itu belum mengenal birokrasi serumit sekarang ini.
Dengan demikian, persoalan gender merupakan wilayah yang terbuka untuk ditafsirkan dengan menimbangkan konteks sosialnya.
Sekali lagi, perbezaan anatomi biologi lelaki dan perempuan memang cukup jelas. Kenyataan biologi yang membezakan dua jenis kelamin ini telah melahirkan dua teori besar yakni teori nature dan teori nurture.
http://www.kosmo.com.my/kosmo/arkib.asp?y=2008&dt=1216&pub=Kosmo&sec=Akademi&pg=ak_03.htm
No comments:
Post a Comment